Selasa, 11 Maret 2014

Waktu Kita Kecil [PUISI]

httpswwwfotoblur.comimages182594


WAKTU kita kecil, kita ingin terbang seperti burung, berkelana ke angkasa, mencari dunia yang lebih angker untuk bermain petak umpet. Sebab hanya di tempat seperti itu kita diperebutkan oleh anak-anak perempuan yang takut setan.

Waktu kecil kita ingin menjadi kupu-kupu. Hinggap dari satu bunga ke bunga lain yang tumbuh di antara semak belukar. Bercinta dengan bebasnya di alam terbuka. Angin berhembus kencang menimbulkan getaran keras pada daun-daun dan menggoyangkan tangkai-tangkainya — hingga seluruh birahi tumpah di penghujung petang itu.

Waktu kecil kita berlarian di pematang sawah, atau bermain di tumpukan jerami sehabis panen. Waktu itu belum ada pabrik yang dibangun di atas lahan pertanian. Petang hari kita bermain sepak bola. Lapangannya terbentang dari belakangan rumah sampai ke bukit-bukit. Sama sekali tidak pernah terpikir bahwa kelak kita akan kehilangan itu semua, dan hanya bisa bermain bola di lapangan futsal yang sempit. Tapi mungkin itu bukan permainan bola, hanya sejenis kenangan yang diawetkan.

Waktu kecil kita pergi ke sekolah berjalan kaki tanpa sepatu. Jaraknya berkilo-kilo meter. Buku pun cuma satu untuk mencatat semua mata pelajaran. Waktu itu pemerintah menyediakan buku ajar. Jadi kita tidak perlu membelinya. Atau buku bekas kakak sulung kita yang masih bisa dipakai sampai adik yang kesepuluh.

Waktu kecil kita bermimpi pindah ke kota, bekerja di kantor besar. Pergi dengan mobil yang disetir sendiri sambil ngebut di jalan raya. Waktu itu belum terpikir kemacetan akan seburuk ini. Di kota kita bisa hidup lebih bebas. Pergi ke mana kita suka tanpa takut diomeli orang tua. Membeli pakaian sendiri. Memilih sepatu sendiri. Memilih pasangan hidup sendiri.

Setelah dewasa, kita ingin kembali ke masa kecil yang dipenuhi impian-impian indah. Kita pun kembali berkumpul dengan anak-anak di sore hari atau malam bulan purnama. Menyaksikan mereka bermain ular naga, galasin, engklek, atau hompimpa yang mengawali permainan yang mendebarkan: petak umpet. Kita terkejut karena semua yang pernah kita impikan dulu masih tersimpan rapi di mata mereka.



Di repost dari ahmadgaus.wordpress.com

Minggu, 02 Maret 2014

Ketika Ikhlas Menjelma Kekuatan Tak Terbanding

Luka lalu saja belum benar-benar sembuh. Dan ternyata aku "dipercaya" lagi untuk mengurusi luka baru. Akh..rasanya semakin kebal saja. tepatnya mungkin mati rasa. Mereka bahagia, dan aku terluka. Tapi syukur ku ucapkan mataku lebih kuat dari hatiku. Dan mulutku, sudah jauh lebih pandai tersenyum lalu tertawa untuk menutupi remuk redam hatiku.

Terkadang aku berpkir, apakah aku terlampaui bodoh, sampai-sampai harus melalu hal ini berkali-kali? Tapi ngga. Aku tidak sebodoh yang aku pikir. Ini hanya soal waktu, soal waktu yang belum tepat. Soal Tuhan yang belum mengizinkanku bertemu dengan pilihan-Nya.

Aku iri.

Ya, sungguh aku iri pada dia, aku iri pada semua yang tengah berbahagia dengan satu alasan itu. Tapi bisa apa aku? selain tersenyum, dan menyelamati mereka sepaket dengan doa-doa terbaik yang berhak mereka dapatkan dariku.

Oke,
Aku menerima. Aku berterimakasih atas semua jalan yang Dia tunjukan. Hanya aku minta sama Tuhan agar aku dilimpahkan kesabaran berlipat. Serta lindungi aku dan keluargaku dari kata yang disebut putus asa.

Aku yakin apapun jalanku, seperti apapun langkahku, ini adalah yang terbaik. Ikhlas. Ya, ketika ikhlas adalah satu-satunya kata klasik yang menjelma kekuatan tak terbanding.


Bandung, 02 Maret 2014