Dulu, saat akhir masa kuliah rasanya ingin sekali berhenti. Sebagian diriku berkata "sudah tit...kamu sudah hebat dititik inipun. Kali ini akan sangat sulit kamu lewati". Sisi lain kemudian berkata "lanjutkan tit...selesaikan apapun yang sudah kamu mulai. Ini belum selesai, tit. Kamu harus lebih bersemangat. Sedikit lagi, sedikit lagi kamu berhasil. Tidak inginkah kamu memakai toga itu? Bukankah itu yang bertahun-tahun mengganggu tidurmu? Yakin saja, Allah pasti memudahkanmu. Allah hanya ingin melihat semangat, ikhtiar, dan doa yang lebih darimu".
Akhirnya... Ya, aku putuskan untuk tetap melangkah. Uang puluhan juta harus kudapatkan untuk bisa ambil skripsi. Lalu cuma selang beberapa bulan saja, harus menyiapkan paling tidak 10 juta rupiah. Kalau dipikir sekarang, harus dari mana? Sedangkan pada saat itu, kakak-kakakku sedang tidak mampu membantu.
Ingat sekali, saat aku memohon pada pihak kampus agar aku bisa sidang. Katanya, harus lunas dulu segala biaya administrasi baru bisa sidang. Sedangkan waktu berlari begitu cepat, tak menghiraukan aku yang tertatih mengejarnya. Tiga hari. Ya, tiga hari menjelang batas akhir sidang. Kalau tidak, maka aku harus sidang tahun berikutnya. Akhirnya, aku beranikan diri untuk menelpon kakak perempuanku. Sambil agak takut aku bilang "teh, teteh nuju gaduh artos?" terdengar jawaban ragu dari sebrang sana "artos? Sabaraha, su? Teteh nuju teu aya mangkaning. Ke urang milarian heula, manawi". Mendengar ucapan kakakku, rasanya lebih panas ke hati dan mata ketimbang patah hati. Sebenarnya itu adalah upaya terakhirku, karena kantor belum ngasih kepastian pinjaman. Sebelum aku ketahuan sedih, aku akhiri telponku. Sambil menahan tangis aku senyum sama temanku. "Ga ada, ay...mentok-mentoknya aku sidang tahun depan".
Benar kata hatiku dari awal, Allah hanya ingin aku lebih serius meminta pada-Nya. Besoknya, Alhamdulillah kantor ngasih pinjaman 7 juta rupiah. Sisa kekurangannya, aku kumpulkan dari simpanan aku. Kalung satu-satunya yang aku punya dan aku suka banget, akhirnya harus ikut dijual. Alhamdulillah, sehari setelah itu aku sidang. Tepat 22 hari setelah sidang aku wisuda, dengan senyum paling bahagia. Terbayar sudah airmata, keringat dan waktu yang selama ini dikorbankan. Sampai hari ini rasanya masih sama persis seperti saat itu, kalau aku sedang mengenangnya.
Setelah kejadian itu, hikmahnya adalah aku selalu berusaha berpikir positif disetiap keadaan. Karena seperti yang selalu aku yakini "semuanya mungkin" saat kita berpikir bisa. Bahkan sampai saat ini, saat pendidikanku belum diperhitungkan. Saat semua usahaku belum mendapat hasil yang diharapkan, tak apa. Aku bersyukur. Bersyukur atas segala hal. Bersyukur aku masih memiliki mimpi dan harapan.
Tak apa tit, semua selalu tepat waktu.
Tak apa tit, Allah tak pernah bosan mendengarkan doamu.
Tak apa tit, Allah ingin kamu belajar bersyukur dulu atas nikmat-Nya.
Tak apa...karena sabar tak berbatas, maka tetaplah bersabar.
Bahagia itu tidak disebabkan dari luar. Tapi dari dalam. Dari hati dan pikiran. Maka aku putuskan untuk bahagia.
"Tita Junianti, terimakasih sudah berjuang sampai ke titik ini. Teruslah berjuang untuk mimpi-mimpimu yang lain. Kamu hebat!! Semoga hari-harimu selalu ceria. Ciptakan bahagia, minimal untuk dirimu sendiri."
Akhirnya... Ya, aku putuskan untuk tetap melangkah. Uang puluhan juta harus kudapatkan untuk bisa ambil skripsi. Lalu cuma selang beberapa bulan saja, harus menyiapkan paling tidak 10 juta rupiah. Kalau dipikir sekarang, harus dari mana? Sedangkan pada saat itu, kakak-kakakku sedang tidak mampu membantu.
Ingat sekali, saat aku memohon pada pihak kampus agar aku bisa sidang. Katanya, harus lunas dulu segala biaya administrasi baru bisa sidang. Sedangkan waktu berlari begitu cepat, tak menghiraukan aku yang tertatih mengejarnya. Tiga hari. Ya, tiga hari menjelang batas akhir sidang. Kalau tidak, maka aku harus sidang tahun berikutnya. Akhirnya, aku beranikan diri untuk menelpon kakak perempuanku. Sambil agak takut aku bilang "teh, teteh nuju gaduh artos?" terdengar jawaban ragu dari sebrang sana "artos? Sabaraha, su? Teteh nuju teu aya mangkaning. Ke urang milarian heula, manawi". Mendengar ucapan kakakku, rasanya lebih panas ke hati dan mata ketimbang patah hati. Sebenarnya itu adalah upaya terakhirku, karena kantor belum ngasih kepastian pinjaman. Sebelum aku ketahuan sedih, aku akhiri telponku. Sambil menahan tangis aku senyum sama temanku. "Ga ada, ay...mentok-mentoknya aku sidang tahun depan".
Benar kata hatiku dari awal, Allah hanya ingin aku lebih serius meminta pada-Nya. Besoknya, Alhamdulillah kantor ngasih pinjaman 7 juta rupiah. Sisa kekurangannya, aku kumpulkan dari simpanan aku. Kalung satu-satunya yang aku punya dan aku suka banget, akhirnya harus ikut dijual. Alhamdulillah, sehari setelah itu aku sidang. Tepat 22 hari setelah sidang aku wisuda, dengan senyum paling bahagia. Terbayar sudah airmata, keringat dan waktu yang selama ini dikorbankan. Sampai hari ini rasanya masih sama persis seperti saat itu, kalau aku sedang mengenangnya.
Setelah kejadian itu, hikmahnya adalah aku selalu berusaha berpikir positif disetiap keadaan. Karena seperti yang selalu aku yakini "semuanya mungkin" saat kita berpikir bisa. Bahkan sampai saat ini, saat pendidikanku belum diperhitungkan. Saat semua usahaku belum mendapat hasil yang diharapkan, tak apa. Aku bersyukur. Bersyukur atas segala hal. Bersyukur aku masih memiliki mimpi dan harapan.
Tak apa tit, semua selalu tepat waktu.
Tak apa tit, Allah tak pernah bosan mendengarkan doamu.
Tak apa tit, Allah ingin kamu belajar bersyukur dulu atas nikmat-Nya.
Tak apa...karena sabar tak berbatas, maka tetaplah bersabar.
Bahagia itu tidak disebabkan dari luar. Tapi dari dalam. Dari hati dan pikiran. Maka aku putuskan untuk bahagia.
"Tita Junianti, terimakasih sudah berjuang sampai ke titik ini. Teruslah berjuang untuk mimpi-mimpimu yang lain. Kamu hebat!! Semoga hari-harimu selalu ceria. Ciptakan bahagia, minimal untuk dirimu sendiri."
Bandung, 10 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar