Rabu, 29 April 2015

Ini Cerita Kami

Ibuku lucu sekali. Usianya yang sudah tak lagi muda tak menyurutkan semangatnya untuk terus mencari nafkah sendiri. Berjualan seperti sudah menjadi habit. Ketika aku merasa letih melangkah dalam memperjuangkan kehidupan, aku cukup melihatnya. Melihat semangat dan ketegarannya. Bersyukur aku terlahir dari rahimnya. Bukan karena dia seorang yang sholeha, bukan karena dia seorang yang kaya raya, atau cantik. Tapi karena beliau adalah seorang perempuan kuat yang selalu semangat dalam menjalani kehidupan ini. 

Satu hal yang selalu membuatku tertawa, tapi juga terharu. Setelah kecelakaan yang menimpanya beberapa tahun lalu, kakinya memang sudah tidak sebaik dulu. Tapi karena semangat berdagangnya yang luar biasa, apapun dia lakukan agar tetap dapat berjualan. Dari mulai minta dipasok barang dagangan sama penjual keliling, sampe membujuk kakak tertuaku untuk mau berbelanja ke pasar setiap hari. Padahal kakakku yang satu ini juga seorang guru yang setiap pagi udah harus ada di sekolah. Tapi yaa demi ibu dia rela pergi ke pasar jam tiga subuh untuk belanja bahan dagangan ibu. Dia satu lagi perempuan hebat dalam hidupku,. Yaa, kakak perempuanku satu-satunya. 

Yang lucu adalah ketika saat ini kakakku sakit. Dia diharuskan dokter untuk mengurangi aktivitasnya. Aku pikir dengan tidak adanya orang yang belanja ke pasar ibuku akan berhenti berjualan. Atau minimalnya tidak seagresif sebelumnya, dalam berjualan. Tapi ternyata tidak. Beliau masih tetap semangat seperti sebelumnya. Kali ini lebih "menggila", karena kali ini menantunya yang kadang disuruh belanja. Dan beberapa minggu terakhir ini malah lebih parah. Karena beliau menyuruh keponakanku yang notabene seorang pemuda, sarjana pendidikan, dan aktivis pemuda untuk belanja ke pasar. Belanjaannyapun belanjaan yang biasa dibeli emak-emak kayak sembako, bahan-bahan gorengan seperti singkong, ubi, kol, wortel, dll dkk. Seorang pemuda mau menenteng tas belanjaan emak-emak,  AWESOME!! Aku terharu pasti, sedih juga iya. Sempat dihari minggu kemarin saat aku pulang aku menemaninya belanja ke pasar.  Dan ternyata dia sudah jauh lebih hebat ketimbang bibinya dalam hal belanja. 

Malu rasanya, tugasku digantikan keponakan, laki-laki lagi. Tapi pertimbangan pulang kampung juga sesuatu yang sulit. Kakak-kakakku dan keponakanku juga tidak ingin aku pulang dan tinggal di rumah. Mereka sudah terlalu bangga dengan pencapaianku saat ini. Padahal masih jauh lebih banyak pencapaian mereka ketimbang aku. Tapi yasudahlah, aku tau mereka menginginkan yang terbaik untukku. Jadi aku selalu bangga hadir diantara mereka. Terimaksih Allah...


Bandung, 29 April 2015

Minggu, 12 April 2015

Sekeping Kenangan

Dua tahun berlalu semenjak aku pergi meninggalkan tempat itu. Iya, tempatku belajar menjadi seseorang. Tak banyak yang aku lupakan dari sekian banyak kejadian. Semua masih kuingat dengan jelas. Karena tak kuingkari, bahwa disanalah semua berawal. Berkali-kali aku katakan kepada siapapun yang bertanya, kalau aku tak pernah menyesal pernah ada di tempat itu. Sungguh aku sangat beruntung. Bagi mereka mungkin buruk, tapi tidak bagiku. Dan memang pada dasarnya aku selalu mensyukuri apapun yang pernah aku lewati. Karena menurutku, setiap yang kita lewati selalu memberi pelajaran. Entah langsung, atau untuk kita pelajari di kemudian hari. Begitupun tempat itu, selain mengajariku langsung tentang mimpi dan harapan. Tapi juga membekaliku bagaimana bertahan ketika badai kehidupan melanda. Yups, masuk ke pusaran badai tersebut dan semua akan lebih baik. 

Setelah dua tahun berlalu, tak sengaja kutemukan beberapa buletin yang dulu sengaja kusimpan karena aku menyukai konten didalamnya. Iya, buletin di tempat itu. Dulu marketing komunikasinya selalu ingin menghadirkan sesuatu yang beda dan salah satunya buletin itu. Aku tersenyum saat melihatnya, membuka lembar per lembar isi buletin tersebut. Ah yaa, ada foto seseorang disana. Tapi kita skip aja tentang orang ini. Sepertinya sudah tak pantas dibahas. Oke kembali ke awal, yaa disana tepat dihalaman pertama aku lihat ada sebuah judul "Nurbakti Amaliah Sutisna (IKON TOTALITAS DAN LOYALITAS)". Aah teteh... ucapku sembari menghela nafas. Iya, aku sangat merindukannya. Sosok yang sampai saat ini tak pernah aku ganti dalam hatiku. Dia kakakku dan ibuku di tempat itu. Sebelumnya pernah kuceritakan di blog ini juga. 

Artikel tersebut memang ga panjang, tapi juga ga bisa disebut pendek. Tapi sungguh, semua isinya adalah kata-kata yang juga pernah disampaikan kepadaku. Sebuah petuah tepatnya. Saat itu aku memang staf  paling muda di divisi kita. Jadi sudah pasti kalau aku selalu jadi objek. Tapi aku bersyukur, karena disitulah aku banyak belajar. Dan yang paling penting, aku disayangi mereka seperti adiknya. Oiya, balik lagi ke isi artikel. Disini tertulis, bagaimana kiat teh Nur dalam menyiasati kejenuhan dalam bekerja? "terus belajar, insya Allah akan mendapatkan inspirasi fresh, menyenangkan dan menantang, buat saya tidak ada istilah stagnasi."

Terimakasih teteh, dari adamu sampai kini teteh udah di tempat terbaik-Nya teteh selalu ngasih banyak pelajaran buat aku. Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik buat teteh. I miss you so much teh...


Bandung, 13 April 2015

Jumat, 10 April 2015

Don't Lose Heart

Seseorang pernah berkata :

"Don't lose heart, please don't sign that you are unhappy. The sunshine and the breeze will not favour anyone. Dreams can be dreamed equally. I have seen hard times but i am glad that i am alive. Don't you ever lose heart either."



Selasa, 07 April 2015

Mereka Ibu Dihatiku

Seseorang disebut ibu itu bukan karena dia yang melahirkan. Ada banyak ibu yang memiliki kasih sayang yang mungkin sama bahkan lebih dari seorang ibu yang melahirkan. Dia memberi cinta dengan tulus, mendoakan dengan ikhlas, dan menyayangi dengan sepenuh hati tanpa pamrih. Yaa itu versi ibu bagiku. Ibu kandungku memang satu. Tapi Ibuku banyak. Bagiku mereka adalah "guardian angel".

Kakakku bisa kusebut ibu. Atasan dan sekaligus temanku bisa kusebut ibu. Bibiku bisa kusebut ibu. Bahkan tetangga bisa kusebut ibu. Meraka seseorang yang hadir dihidupku, yang dengan rela memberikan kasih sayang dan doa-doa terbaiknya untukku. 

Kalian adalah IBU dihatiku...

Terimakasih atas semua yang kalian berikan. Sungguh aku tak kan mampu membalasnya. Bahkan hanya seujung kuku. Hanya doa yang mungkin dapat kupanjatkan untuk kalian, semoga Allah memberikan tempat terbaik di Syurga-Nya. 


Bandung, 06 April 2015

Senin, 06 April 2015

Aku Anak Penjual Es Kenong

Aku dilahirkan bukan dari keluarga berada. Bapakku hanya sekedar kuli musiman. Kalau memang sedang ada pekerjaan di Jakarta beliau menjadi tukang. Tapi untuk sehari-hari, demi menghidupi anak istri, beliau berjualan es kenong dengan cara keliling kampung. Ibuku bilang sih profesi ini jauh lebih baik jika dibandingkan saat kakak-kakakku masih kecil. Ibu dan bapakku seringnya sebagai pembuat batu bata merah yang entah bagaimana bisa disebut cukup. Saat aku kecil, semua itu kupikir wajar saja. Bagiku ada bapak, ibu serta kakak-kakak adalah hal terbaik yang aku alami di dunia ini.

Waktu berlalu. Bapakpun semakin tua dan sakit-sakitan. Karena memang bapak dari mudanya sudah sakit-sakitan, wajar saja jika semakin tua badannya semakin lemah. Bersyukurnya aku dan kakak-kakak memang memiliki jarak usia yang jauh.Jadi pada saat aku SD kakak terbesarku sudah menikah dan bisa dibilang lumayan sudah mampu untuk membantu ekonomi keluarga kami. Akhirnya kakakku pun memutuskan untuk mem-pensiunkan orang tua kami. Alhamdulillah. Tahun terus berjalan, kakakku yang lainpun mulai kerja lalu menikah. Semua kupikir baik-baik saja dan akan selalu seperti itu. Tapi ternyata tidak. Sesuatu terjadi pada keluargaku.

Kakak pertamaku mendapatkan masalah dipekerjaannya. Beliau di fitnah korupsi lalu dikeluarkan. Berbarengan dengan itu juga, saudara dari kakak iparku menuntut sesuatu berdasarkan atas keirian. Ah...keadaan yang selama ini aku pikir akan selalu baik-baik saja ternyata harus berubah. Ekonomi keluarga kitapun semakin porak poranda. Kakak-kakakku yang lain belum mampu kalau untuk menopang keluarga ini. Tidak ada jalan lain, pikir orang tuaku. Selain bapak kembali pada profesinya yang lama. Ya, beliau mulai berjualan lagi. Jualan es kenong, keliling kampung. Demi aku yang saat itu masih sekolah di SMA, dan baru kelas 2. Aku sakit pasti. Aku nangis saat itu. Bukan karena malu, tapi lebih kepada sakit hati atas keadaan. Atas masalah yang beruntun datang ke keluarga kami.

Hari terus berjalan. Walau bapak sudah tua, dan tenaganyapun sudah tidak sekuat dulu akhirnya sering sekali bapak pulang lebih awal karena jantungnya tidak baik-baik saja. Tapi beliau tetap semangat. Demi siapa kalau bukan demi anak-anaknya. Demi melihat anak-anaknya tenang dan tak mengkhawatirkan tentang kebutuhan orang tua. Ada satu hal yang tak akan pernah aku lupakan, dulu setiap bapak pulang jualan bapak selalu bilang ke ibu, "pisahkeun nyi duit nu aralusna, keur bekel si eneng sakola". Bagi orang lain mungkin biasa saja, tapi tidak untukku. Itu luar biasa. Mereka selalu kompak. Bagi mereka keadaan sulit saat itu tidak sebanding dengan keadaan sulit yang pernah mereka alami di masa lalu.

Alhamdulillah seiring waktu kakakku pun mulai bangkit. Dia mulai kembali ke aktifitas barunya. Sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuhnya. Ya, sebagai guru. Walaupun pada saat itu, kakakku masih berstatus guru kontrak. Tak masalah bagi orang tuaku. Yang terpenting kakakku sudah bangkit dari keterpurukannya.

Saat itupun tiba, aku lulus SMA. Bahagia pasti, tapi sedihpun iya. Karena disaat yang sama aku juga putus sekolah. Ekonomi keluargaku tidak memungkinkan untukku melanjutkan kuliah. Akhirnya aku dijemput kakak laki-laki ku yang tinggal di Bandung untuk ikut tinggal bersamanya sambil mencari kerja. Yaa memang terlalu kecil untuk kerja. Tapi tekadku bulat, kalau aku harus bekerja demi keluargaku. Aku harus bisa kuliah untuk kemudian mampu mengubah keluargaku menjadi lebih baik. Entah itu mimpi, atau hanya sekedar khayalan aku ga peduli. Yang terpenting bagiku aku harus memiliki semangat entah dari apapun sumbernya.

Di usia remajaku yang pada umumnya berbahagia dengan berpacaran atau menghias diri,  aku tidak. Aku memilih fokus mencari kerja. Dari mulai menjadi penjaga toko di pasar baru, sampai akhirnya aku menjadi spg di sebuah factory outlet. Seperti panggang jauh dari api rasanya. Cita-citaku yang setinggi langit ke tujuh dengan upayaku yang hanya bekerja sebagai spg, yang notabene berpenghasilan dibawah UMR. Iya, gajihku saat itu 500rb sebulan. bahkan untuk ongkos pergi kerjapun tak cukup. Karena aku masih harus tinggal di Cimahi dengan kakakku. Tapi tak apa, aku tetap sangat bersyukur. Itu hasil kerja kerasku, keringatku.

Seperti layaknya seseorang yang menerima gajih pertama, aku pun akhirnya mengirimkan sebagian uang gajihku ke Subang. Tidak seberapa sih, tapi itu sukses membuat bapakku nangis. Aku sih tidak melihatnya, hanya aku dapat kabar itu dari kakakku. Bagiku itu biasa saja. Tapi ternyata tidak bagi orang tuaku. Mereka bahagia, sekaligus sedih mendapatkan uang itu. Karena mereka tau banget tentang cita-cita aku. Tentang cita-cita awalku yang ingin jadi dokter, sampai kemudian ada masalah aku berubah haluan. Aku memutuskan ingin menjadi pengacara. Ini berangkat dari sakit hati atas kejadian yang terjadi pada keluargaku. Tapi sekarang, mereka menyaksikan sendiri aku hanya menjadi anak yang tak mampu melanjutkan kuliah lalu bekerja sebagai spg. Tapi doa mereka selalu terucap untukku, untuk kakak-kakakku.

Sampai pada saatnya aku pindah kerja ke tempat yang lebih menjanjikan. Masih menjadi spg sih, tapi di perusahaan yang lebih besar. Setahun kemudian aku naik jabatan menjadi seorang staf kantor. Perlahan mimpi itu mulai nampak. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk kuliah. Empat tahun lamanya aku menunggu, akhirnya aku kuliah juga. Tepat di 2010 aku terdaftar sebagai mahasiswa di salahsatu universitas swasta di Bandung. Bahagia pasti, bangga tentu. Tapi disana karirkupun menjadi jaminannya.

Akh entah bagaimana, semua seakan-akan menjadi sulit. Tapi aku tak patah semangat, walau sering ngutang sana sini untuk menutupi kekurangan, aku terus melanjutkan mimpiku. Bahkan beberapa waktu aku dikasih dari orang tuaku untuk membayar kuliah. Karena Alhamdulillah perlahan ekonomi keluarga mulai membaik. Sampai disaat ini di titik ini, dimana bapak telah tiada dan aku masih kuliah tingkat akhir aku masih kuat.

Oh iya aku juga sudah pindah kerja ke tempat yang aku rasa akan banyak memberiku kesempatan (lagi). Setelah sekian lama proses ini kulewati, satu hal yang aku punya : KEYAKINAN. Keyakinanku akan mimpi. Sesulit apapun, selama apapun mimpi itu akan menjadi nyata aku tetap yakin akan meraihnya.

Terimakasih Tuhan, Engkau memberiku kekuatan, keyakinan, semangat, dan kasih sayang yang luar biasa ini. Mungkin jarak tempuhku jauh lebih panjang dari yang lain, tapi aku yakin aku mampu mencapai ujung perjalanan yang membahagiakan. Tak peduli orang berpikir apa, aku akan tetap yakin dengan mimpiku. SEMANGAT buat aku!! Buat seorang anak penjual es kenong.


Bandung, 17 Maret 2014

Meraba-raba

Seperti meraba-raba dalam gelap
Tak ada jaminan untuk tidak salah sentuh
Tak ada jaminan untuk tidak tersandung atau jatuh
Gelap rasanya
Seakan semua tak pasti, dan memang tak pasti
Pepatah mengatakan "yang pasti dalam hidup ini hanya kematian"
Memang benar...
Itulah yang sebenarnya
Sungguh, kebahagiaan dan kesedihan itu tak pernah pasti