WAKTU kita kecil, kita ingin terbang seperti burung, berkelana ke
angkasa, mencari dunia yang lebih angker untuk bermain petak umpet.
Sebab hanya di tempat seperti itu kita diperebutkan oleh anak-anak
perempuan yang takut setan.
Waktu kecil kita ingin menjadi kupu-kupu. Hinggap dari satu bunga ke
bunga lain yang tumbuh di antara semak belukar. Bercinta dengan bebasnya
di alam terbuka. Angin berhembus kencang menimbulkan getaran keras pada
daun-daun dan menggoyangkan tangkai-tangkainya — hingga seluruh birahi
tumpah di penghujung petang itu.
Waktu kecil kita berlarian di pematang sawah, atau bermain di
tumpukan jerami sehabis panen. Waktu itu belum ada pabrik yang dibangun
di atas lahan pertanian. Petang hari kita bermain sepak bola.
Lapangannya terbentang dari belakangan rumah sampai ke bukit-bukit. Sama
sekali tidak pernah terpikir bahwa kelak kita akan kehilangan itu
semua, dan hanya bisa bermain bola di lapangan futsal yang sempit. Tapi
mungkin itu bukan permainan bola, hanya sejenis kenangan yang diawetkan.
Waktu kecil kita pergi ke sekolah berjalan kaki tanpa sepatu.
Jaraknya berkilo-kilo meter. Buku pun cuma satu untuk mencatat semua
mata pelajaran. Waktu itu pemerintah menyediakan buku ajar. Jadi kita
tidak perlu membelinya. Atau buku bekas kakak sulung kita yang masih
bisa dipakai sampai adik yang kesepuluh.
Waktu kecil kita bermimpi pindah ke kota, bekerja di kantor besar.
Pergi dengan mobil yang disetir sendiri sambil ngebut di jalan raya.
Waktu itu belum terpikir kemacetan akan seburuk ini. Di kota kita bisa
hidup lebih bebas. Pergi ke mana kita suka tanpa takut diomeli orang
tua. Membeli pakaian sendiri. Memilih sepatu sendiri. Memilih pasangan
hidup sendiri.
Setelah dewasa, kita ingin kembali ke masa kecil yang dipenuhi
impian-impian indah. Kita pun kembali berkumpul dengan anak-anak di sore
hari atau malam bulan purnama. Menyaksikan mereka bermain ular naga,
galasin, engklek, atau hompimpa yang mengawali permainan yang
mendebarkan: petak umpet. Kita terkejut karena semua yang pernah kita
impikan dulu masih tersimpan rapi di mata mereka.
Di repost dari ahmadgaus.wordpress.com